Ah, fakta diatas ternyata sangat membekas dalam hidupku. Jadinya
dimanapun kaki berpijak, kemanapun langkah ini tertuju, aku selalu terobsesi
untuk mempunyai teman, apalagi teman dekat. Karena aku selalu merasa aku
bukanlah aku jika aku berdiri sendiri. Kehadiran seorang teman selalu member
kekuatan tersendiri dan tentunya member warna yang indah dalam perjalanan
hidupku.
Sayangnya aku adalah orang yang berwatak introvert. Aku susah
membuka diri, susah mengobralkan ekspresiku, apalagi dilingkungan yang baru.
Alhasil, aku selalu kesulitan mendapat
teman, apalagi teman dekat. Jadinya orang yang bisa aku mencurahkan isi
hatiku dan mengekspresikan perasaanku padanya, itu artinya orang itu telah aku
cap sebagai teman dekat. Mendapat teman yang mengerti aku luar dalam, plus
menerima semua kekurangan dan kelebihanku adalah hal yang sangat sulit ku
lakukan. Sungguh.
Mungkin sudah takdirnya saja kami akan menjadi teman dekat. Saat
aku masuk disebuah pesantren di ciamis, aku sudah merasakan bahwa kami bagai
kutub utara dan kutub selatan yang selalu tarik menarik jika berdekatan.
Intinya kami sudah menemukan kecocokan saat pertama bertemu. Padahal aku baru
saja memasuki lingkungan baru, aku juga berwatak tertutup, tapi dalam waktu
relative dekat aku sudah mempunyai teman, teman dekat lagi? Sungguh luar biasa.
Aku semakin bersyukur karena teman dekatku adalah orang yang sangat
baik, perhatian, gak itungan, pendengar yang baik, dan…. pokoknya dia orang
baik sejati deh.
Hari demi hari kemudian menjadikan kami populer sebagai sahabat
yang tak terpisahkan. Dimanapun ada dia, akupun ada disana. Dan dimana ada aku,
diapun selalu ada disampingku. Rasanya mempunyai teman seperti itu bagaikan
ketiban anugrah.
Hari demi haripun kami lalui dengan kisah persahabatan yang tulus.
Kami saling mengerti satu sama lain. Julukan bak Lem dan Perangko melekat erat
pada kami.
Namun hari demi hari selanjutnya akhirnya membuat dia jenuh. Mungkin
karena kami kelamaan bersama atau karena kedekatan kami yang berlebihan ini
membuat dia mengalami kejenuhan padaku.
Awalnya dia sangatlah manis bak ibu peri, tapi kini dia menjelma
jadi sesosok teman yang selalu menikam ulu hatiku, baik dari depan maupun dari
belakang. Aku hamper tak percaya bahwa sahabat yang selalu agungkan, kini
berlaku sedemikian jahat padaku. Mending kalau dia melampiaskan kejenuhannya
itu disaat kami sedang berdua saja. Parahnya kini dia sering menjatuhkanku dihadapan
orang lain, membunuh karakterku, dan mematikan mood-ku didepan mereka. Mungkin
perlakuannya ini adalah bentuk kejenuhannya padaku karena kedekatan kami yang
berlebihan, tapi sungguh aku kecewa.
Setelah menangis berhari- hari dan mengutuknya dalam diam, akhirnya
aku memutuskan untuk tak akan menganggapnya sahabat lagi. Buat apa aku terus
menganggapnya sahabat? Toh dia selalu menyakitiku, pikirku. Dan aku juga
berjanji akan membalas semua perlakuannya yang menyakitkan.
Hari demi hari berikutnya kami masih tetap hidup bersama. Bedanya
dari tatap mata kami menguar kebencian yang terpendam. Disetiap kesempatan, aku
selalu berusaha menjatuhkan dia, terutama dihadapan orang banyak. Dan baru aku
sadari bahwa watak asli ex.sahabatku adalah watak yang ia tunjukan kini, bukan
watak yang ia tunjukan kemarin- kemarin. Cemennya aku sama sekali tak berani
mengungkapkan benci yang ku rasa ini langsung ke mukanya.
Hari demi hari selanjutnya, akhirnya membuatku sadar bahwa rasa
benci yang aku pelihara ini tak ada gunanya sedikitpun. Dan aku juga sadar
bahwa bahwa aku tak perlu membalas semua perlakuan menyakitkannya. Aku juga tak
perlu memusingkan kenapa dia tak semanis dulu lagi? Kenapa dia jadi pribadi
yang berbeda kini? Kenapa dia selalu menyakitiku? Karena kini aku memahami
bahwa aku hanya perlu menghilangkan dendam, kembali ke pribadiku yang dulu,
yang memahaminya, dan bersikap sewajarnya padanya dan aku akan tenang dan sabar
menghadapinya.
Kini akupun tak memusingkan semua tindakan kasarnya padaku, karena
yang berhak membalas semua perbuatan, baik atau buruk perbuatan itu, adalah
Allah semata. Allah tak pernah tidur dan Allah sangatlah teliti. Kebaikan
sekecil dan sesamar apapun takan luput dari perhatian-Nya. Dia akan membalas
kebaikan berkali- kali lipat dan dari manapun itu datangnya.
Kesimpulan ini akhirnya menghancurkan dendamku dan membulatkan
tekadku untuk tetap mengistimewakan sahabatku, meski kini dia tak lagi
mengistimewakan aku.