Bisa dikatakan masa smp-ku sangatlah menyenangkan. Banyak kenangan manis yang terukir saat memakai seragam putih biru itu. Dan salah satu kenangan yang selalu membuatku terkikik dan membuat orang lain berpikir aku terkena syndrom kurang waras karena senyam senyum sendirian adalah saat ujian praktek akhir mata pelajaran tata boga.
Ya,
smp-ku memang memasukan mata pelajaran ini kedalam kurikulumnya. Emang sih mata
pelajaran ini cukup menguras isi kantong tiap kali ujian praktek. Tapi saat
melihat hasil praktek berupa makanan lezat nan bergizi, umh... lupalah sama
uang jajan yang bolong. Berkat mata pelajaran inilah, aku yang masih bloon sama
urusan dapur akhirnya bisa bereksperimen membuat brownies kukus, nasi tumpeng,
perkedel, dan masakan yang lain.
Dan
menjelang kelulusan smp, akhirnya mata pelajaran inipun mengadakan ujian
praktek pamungkasnya. Dan tak tanggung- tanggung, menu yang mesti kami siapkan
adalah seperangkat makanan 4 sehat 5 sempurna.
Baiklah
sebelum cerita berlanjut, akan ku ceritakan dulu kelompok tata boga yang ada
dikelasku ini. Murid kelas IX-A berisi
37 orang inipun akhirnya dibagi jadi 3 kelompok besar. Kelompok pertama
beranggotakan murid- murid berprestasi nan sibuk di kepengurusan osis, kelompok
2 beranggotakan 4 murid perempuan kecentilan maniak make up, 2 murid berprilaku
normal dan 6 murid laki laki, dan kelompok 3 beranggotakan murid biasa yang
diketuai oleh seorang otoriter bernama Eni.
Aku
dan teman baikku, Eli, masuk ke kelompok 2. Namun merasa tidak nyaman dengan
kelompok ini setelah melalui beberapa ujian praktek, membuatku berinisiatif
untuk membentuk kelompok tata boga baru. Dan mulailah aku menghasut beberapa
anggota kelompok 3 yang juga tidak nyaman dengan kelompoknya. Dan terbentuklah
kelompok 4 tata boga beranggotakan aku, Eli, dan empat teman wanita yang lain.
Cukup nekat sih aksiku ini, karena menghadapi ujian praktek tata boga pamungkas
yang membutuhkan dana lumayan besar, harus kami tanggung berenam disaat kelompok
lain membaginya bersepuluh atau lebih. Namun demi kenyamanan saat ujian, kami
berenam bertekad untuk tetap keukeuh dikelompok 4.
Ujian
praktekpun tiba. Bu Alin, guru tata boga, menyuruh murid membawa masakan jadi
ke sekolah (tidak memasak di sekolah) membuat kami harus menginap di salah satu
rumah teman untuk memasak bersama. Kelompokku yang kecil inipun dengan mudah ku
koordinir dengan membagi dua kelompok memasak. Tanpa kesulitan berarti, pukul
setengah 8 kami sudah tiba di sekolah dengan menu 4 sehat 5 sempurna kami yang
sangat menggoda, disaat kelompok lain masih berjibaku di dapurnya masing-
masing.
Saat
kelompok kami tengah menanti kelompok lain, dikejauhan ku lihat Eni(ketua
kelompok 3) sedang khusyuk menceramahi Azmi, teman kelompoknya, yang sedang
berkesusahan membawa selusin piring. Tak ada angin, tak ada hujan, penyakit
ayan Azmi kumat di dekat tangga menuju kelas IX. Semua yang menyaksikan kaget
berat dengan kejadian ini. Dan yang makin membuat gempar pagi itu karena,
kumatnya penyakit Azmi diiringi iringan suara piring pecah. Beruntung kekumatan
penyakit Azmi tidak berlangsung lama.
Eni
sepertinya kapok menyuruh Azmi mengangkut barang pecah belah. Maka diapun turun
tangan saat membawa mangkuk sayur berukuran jumbo. Malang tak dapat ditepis, kaki
Eni terkilir dan mangkuk sayurpun pecah. Tak dapat ku bayangkan betapa
stressnya Eni melihat kekacauan dikelompoknya. Dan menurut prediksiku, yang
lebih stress dari semua kekacauan ini adalah Sri, anggota kelompok 3 pemilik
barang pecah belah yang sudah pecah ini.
Pukul
9, tibalah saat kami menikmati makanan hasil jerih payah kami memasak tadi
malam. Ditengah suka ria memakan makanan lezat, ku lirik meja kelompok 3 yang
penuh kesuraman. Usut punya usut, Dwi, teman baikku yang naas bersarang
dikelompok 3 memberitahukan kalau kelompoknya harus patungan lagi untuk
mengganti piring dan mangkuk Sri yang pecah.
Entah
dosa apa yang telah diperbuat salah seorang anggota kelompok 3 hingga kesialan
demi kesialan datang bertubi- tubi hari ini, yang jelas aura kesialan kelompok
3 begitu kuat. Terbukti setelah 2 jam kemudian, setelah serangkaian praktek
tata boga berakhir dan murid kelas IX bergegas pulang, aku dan Eli yang
kebetulan rumahnya searah dengan anggota kelompok 3 pulang bersama mereka (Eni
dan Sri tidak ikut karena sedang ke pasar membeli barang ganti). Aku, Eli, Dwi,
Fatimah, dan Evi sedang berjalan beriringan sambil keberatan menjinjing barang-
barang yang digunakan untuk ujian praktek, merasa sangat kaget saat tiba- tiba
dua ekor embek kacang mengejar kami. Mungkin embek kelaparan itu membaui aroma
makanan dari keresek yang kami bawa.
Takut
diseruduk embek, kamipun lari tunggang langgang sambil membawa keresek keresek
besar. Frustasi dengan kesialan yang terus menimpanya, Dwi menjerit kesal pada
Fatimah dan Evi.
"Apes
banget yak kelompok kita. Piring pecah, patungan dobel, pulangnya dikejar
embek. Apes. Apes," teriak Dwi sambil berlari.
Fatimah
dan Evi-pun mengamini perkataan Dwi.
Namun
meskipun aku dan Eli jadi ikutan ketiban sial kelompok mereka, tapi akhirnya
kami tertawa terbahak- bahak setelah lepas dari kejaran embek kacang, sejenis
embek bertubuh kecil mirip anjing. Biarlah kesialan kelompok 3 ini menjadi
kenangan indah di masa depan. Eh, apa
bener kelompok 3 memang sedang dikutuk? Berdasarkan fakta- fakta diatas,
kayaknya kelompok 3 memang sedang dikutuk kali ya. Hehe.