Minggu, 28 Februari 2016

Kutukan Kelompok 3 Tata Boga


Bisa dikatakan masa smp-ku sangatlah menyenangkan. Banyak kenangan manis yang terukir saat memakai seragam putih biru itu. Dan salah satu kenangan yang selalu membuatku terkikik dan membuat orang lain berpikir aku terkena syndrom kurang waras karena senyam senyum sendirian adalah saat ujian praktek akhir mata pelajaran tata boga.
Ya, smp-ku memang memasukan mata pelajaran ini kedalam kurikulumnya. Emang sih mata pelajaran ini cukup menguras isi kantong tiap kali ujian praktek. Tapi saat melihat hasil praktek berupa makanan lezat nan bergizi, umh... lupalah sama uang jajan yang bolong. Berkat mata pelajaran inilah, aku yang masih bloon sama urusan dapur akhirnya bisa bereksperimen membuat brownies kukus, nasi tumpeng, perkedel, dan masakan yang lain.
Dan menjelang kelulusan smp, akhirnya mata pelajaran inipun mengadakan ujian praktek pamungkasnya. Dan tak tanggung- tanggung, menu yang mesti kami siapkan adalah seperangkat makanan 4 sehat 5 sempurna.
Baiklah sebelum cerita berlanjut, akan ku ceritakan dulu kelompok tata boga yang ada dikelasku ini. Murid kelas IX-A  berisi 37 orang inipun akhirnya dibagi jadi 3 kelompok besar. Kelompok pertama beranggotakan murid- murid berprestasi nan sibuk di kepengurusan osis, kelompok 2 beranggotakan 4 murid perempuan kecentilan maniak make up, 2 murid berprilaku normal dan 6 murid laki laki, dan kelompok 3 beranggotakan murid biasa yang diketuai oleh seorang otoriter bernama Eni.
Aku dan teman baikku, Eli, masuk ke kelompok 2. Namun merasa tidak nyaman dengan kelompok ini setelah melalui beberapa ujian praktek, membuatku berinisiatif untuk membentuk kelompok tata boga baru. Dan mulailah aku menghasut beberapa anggota kelompok 3 yang juga tidak nyaman dengan kelompoknya. Dan terbentuklah kelompok 4 tata boga beranggotakan aku, Eli, dan empat teman wanita yang lain. Cukup nekat sih aksiku ini, karena menghadapi ujian praktek tata boga pamungkas yang membutuhkan dana lumayan besar, harus kami tanggung berenam disaat kelompok lain membaginya bersepuluh atau lebih. Namun demi kenyamanan saat ujian, kami berenam bertekad untuk tetap keukeuh dikelompok 4.
Ujian praktekpun tiba. Bu Alin, guru tata boga, menyuruh murid membawa masakan jadi ke sekolah (tidak memasak di sekolah) membuat kami harus menginap di salah satu rumah teman untuk memasak bersama. Kelompokku yang kecil inipun dengan mudah ku koordinir dengan membagi dua kelompok memasak. Tanpa kesulitan berarti, pukul setengah 8 kami sudah tiba di sekolah dengan menu 4 sehat 5 sempurna kami yang sangat menggoda, disaat kelompok lain masih berjibaku di dapurnya masing- masing.
Saat kelompok kami tengah menanti kelompok lain, dikejauhan ku lihat Eni(ketua kelompok 3) sedang khusyuk menceramahi Azmi, teman kelompoknya, yang sedang berkesusahan membawa selusin piring. Tak ada angin, tak ada hujan, penyakit ayan Azmi kumat di dekat tangga menuju kelas IX. Semua yang menyaksikan kaget berat dengan kejadian ini. Dan yang makin membuat gempar pagi itu karena, kumatnya penyakit Azmi diiringi iringan suara piring pecah. Beruntung kekumatan penyakit Azmi tidak berlangsung lama.
Eni sepertinya kapok menyuruh Azmi mengangkut barang pecah belah. Maka diapun turun tangan saat membawa mangkuk sayur berukuran jumbo. Malang tak dapat ditepis, kaki Eni terkilir dan mangkuk sayurpun pecah. Tak dapat ku bayangkan betapa stressnya Eni melihat kekacauan dikelompoknya. Dan menurut prediksiku, yang lebih stress dari semua kekacauan ini adalah Sri, anggota kelompok 3 pemilik barang pecah belah yang sudah pecah ini.
Pukul 9, tibalah saat kami menikmati makanan hasil jerih payah kami memasak tadi malam. Ditengah suka ria memakan makanan lezat, ku lirik meja kelompok 3 yang penuh kesuraman. Usut punya usut, Dwi, teman baikku yang naas bersarang dikelompok 3 memberitahukan kalau kelompoknya harus patungan lagi untuk mengganti piring dan mangkuk Sri yang pecah.
Entah dosa apa yang telah diperbuat salah seorang anggota kelompok 3 hingga kesialan demi kesialan datang bertubi- tubi hari ini, yang jelas aura kesialan kelompok 3 begitu kuat. Terbukti setelah 2 jam kemudian, setelah serangkaian praktek tata boga berakhir dan murid kelas IX bergegas pulang, aku dan Eli yang kebetulan rumahnya searah dengan anggota kelompok 3 pulang bersama mereka (Eni dan Sri tidak ikut karena sedang ke pasar membeli barang ganti). Aku, Eli, Dwi, Fatimah, dan Evi sedang berjalan beriringan sambil keberatan menjinjing barang- barang yang digunakan untuk ujian praktek, merasa sangat kaget saat tiba- tiba dua ekor embek kacang mengejar kami. Mungkin embek kelaparan itu membaui aroma makanan dari keresek yang kami bawa.

Takut diseruduk embek, kamipun lari tunggang langgang sambil membawa keresek keresek besar. Frustasi dengan kesialan yang terus menimpanya, Dwi menjerit kesal pada Fatimah dan Evi.
"Apes banget yak kelompok kita. Piring pecah, patungan dobel, pulangnya dikejar embek. Apes. Apes," teriak Dwi sambil berlari.
Fatimah dan Evi-pun mengamini perkataan Dwi.
Namun meskipun aku dan Eli jadi ikutan ketiban sial kelompok mereka, tapi akhirnya kami tertawa terbahak- bahak setelah lepas dari kejaran embek kacang, sejenis embek bertubuh kecil mirip anjing. Biarlah kesialan kelompok 3 ini menjadi kenangan indah di masa depan.  Eh, apa bener kelompok 3 memang sedang dikutuk? Berdasarkan fakta- fakta diatas, kayaknya kelompok 3 memang sedang dikutuk kali ya. Hehe.

PEMBAHASAN LAFADZ



Lafadz ialah kata/suara yang mengandung huruf abjad. Ia dibagi menjadi dua, yaitu lafadz muhmal, yang berarti lafadz atau ungkapan yang tidak memiliki arti seperti wesemeng, krowo, dan lain-lain. Kedua, lafadz musta’mal, yaitu lafadz atau kata-kata yang menunjukkan arti, seperti jakarta, zaid, pergi, nonton, dan lain, lain.

Lalu, lafadz musta’mal ini dibagi lagi menjadi dua bagian lagi, yaitu: lafadz mufrad, yaitu kata yang menunjukkan arti dirinya dan bagian darinya tidak bisa menunjukkan arti yang lain, misalnya ucapan kayu, maka tidak bisa berarti ka punya arti dan yu punya arti, tapi ‘kayu” baru memiliki arti. Kedua lafadz murokkab, yaitu kata-kata yang tersusun dan terangkai dari beberapa suku kata dan sebagian dari kata kata itu dapat menunjukkan arti bagi sebagian yang lain. Misalnya bangsa Indonesia, bangsa memiliki arti, Indonesia memiliki arti. Jika kita menyebut banyuwangi, maka suku kata ini tidak termasuk lafadz murokkab, karena sudah menjadi nama sebuah daerah di jawa timur.maka banyuwangi masih termasuk lafadz yang masih mufrad alias tunggal.

Lafadz mufrad dibagi menjadi dua, yaitu mufrad kulli dan mufrad juz’I, mufrad kulli adalah kata tunggal yang dapat mencakup beberapa unit secara global. Misalnya ayam, alam, kendaraan, kantor, dan lain-lain . Mufrad juz’i ialah kata tunggal yang tidak dapat mencakup beberapa unit, ia hanya memiliki arti yang terbatas saja, misalnya Muhammad, tangan, mata, dan lain lain.


Lafadz kulli dibagi menjadi dua bagian:

1. Kulli dzati, yaitu kata yang menunjukkan arti dari hakikat suatu benda bersamaan dengan unit-unitnya, misalnya ucapan sayurmayur, itu berarti kangkung, bayam, kubis termasuk, dan sayur-sayur itu masuk pada sebutan sayurmayur. Karena hakikat dari kangkung, bayam, kubis adalah sayur mayur.
2. Kulli ‘ardli, kebalikan dari kulli dzati, kata ini tidak menunjukkan arti dari bagian unit-unitnya, misalnya pak Hadi menjadi Bupati, ia dipanggil Bupati. Maka bupati ini merupakan kulli ardli, karena tidak setiap bupati pasti pak hadi, dan tidak setiap pak hadi menjadi bupati. Misalnya pak syakur menjadi naib, maka dipanggil pak Naib.
Ada lima macam kulli yaitu:
1. Kulli jinsi, yaitu kata global yang memiliki beberapa jenis dan hakikat yang berbeda tapi ketika memiliki persamaan ia patut dijadikan sebagai jawaban, semisal kata palawija yang mewakili dari beberapa unit tanaman, misal padi, kacang, kedelai dan lain lain.
2. Kulli fashal, yaitu kata global yang menggunakan sebagian dari zat, wujud, bahan atau benda yang kata itu mampu mendefinisikan hakikat benda itu. Misalnya, kata-kata berfikir, untuk menunjukkan definisi manusia, hal ini bisa terwakili, misal yang lain menek klopo, padahal yang dinaiki adalah pohon kelapa, tapi kelapa adalah bagian dari pohon itu. Beda dengan kata tiang, yang menjadi penyangga rumah, rumah dikatakan tiang, maka hal itu tidak tepat. Fashal sendiri masih dibagi menjadi dua, fashal qarib, yaitu bagian bagian penyebutannya mendekati dari definisi asalnya, misalnya ungkapan dapat berfikir bagi manusia. Kedua fashal ba’id, yaitu bagian dari penyebutannya berjauhan dari definisi asalnya misalnya ungkapan manusia itu berperasaan. Dan kita ketahui bahwa hewan juga berperasaan. Berarti kata perasaan jauh dari definisi manusia tapi masih bisa mewakili, walau tidak manusia saja yang mempunyai perasaan.

3. Kulli ‘aradl ‘am adalah kata global yang merupakan hal umum terjadi padanya, ia berada di luar zat, hakikat, benda dan wujudnya, misalnya ungkapan manusia adalah hewan yang bernafas, bernafas jelas di luar hakikat manusia.
4. Kulli khashah, kata global yang di luar dari hakikatnya, zatnya, tetapi khusus bagi hakikat zat itu sendiri, seperti tertawa, tertawa berada di luar hakikat manusia, tetapi hanya manusialah yang bisa tertawa. Kulli dibagi menjadi tiga macam, yaitu:

a. Jenis dekat (jinsi qarib atau saafil), di bawah jenis ini masih ada jenis lagi, yang ada hanyalah nau’ (bagian dari kulli) misalnya perkataan “hewan”, di bawah kata hewan sudah tidak ada jenis lagi.
b. Jenis jauh (jinsi ba’id atau ‘aali), di bawah jenis ini sudah masih ada jenis yang lain tetapi di atas jenis ini tidak ada lagi jenis yang lain lagi, seperti jauhar atau alami, di atas jauhar tidak ada jenis lain lagi, tapi di bawah jauhar masih ada nau’ dan al-nami (sesuatu yang berkembang).
c. Jenis tengahan (jinsi wasath), yaitu macam jenis yang di atas dan di bawahnya masih ada jenis yang lain. Seperti ucapan al-nami di bawahnya masih ada jenis hewan, dan di atasnya ada pula jenis jisim.

5. Kulli nau’, yaitu kata global yang mempunyai beberapa hakikat yang sama, dan patut digunakan sebagai jawaban man huwa? Atau siapa dia?” maka bisa saja jawaban itu berupa ucapan, Zaid itu manusia, Fatimah itu manusia, Fathoni itu juga manusia, yang demikian itu merupakan macam dari hakikat sesuatu yang benar.

MENYAMAKAN LAFADZ PADA MAKNA

Bab ini menerangkan tentang persamaan lafadz terhadap maknanya, ada lima macam pembagian bagi lafadz global dipandang dari segi makna. Kelima macam itu adalah:

1. Kulli Mutawathi’, ialah lafadz global yang memiliki banyak arti dan makna yang kesemuanya memiliki makna dan arti yang tidak ada perbedaan, seperti ungkapan binatang, maka meliputi di dalamnya binatang liar, ternak binatang mamalia dan berbagai macam binatang.
2. Kulli musyakkik, yaitu sebuah lafadz yang mempunyai banyak arti dan makna dan satu sama lain berbeda maknanya, misalnya kata “putih” ada makna yang dominan dan ada yang resesif (minoritas), misal ucapan kulitnya putih, cat temboknya putih, putih pertama dan putih yang kedua tidak sama, walau ucapannya sama, kata putih ini disebut kata global yang menyimpang dari hakikatnya.
3. Kulli Mutabayin, yaitu dua perkataan atau lebih yang mana di antara satu sama lain itu memiliki arti yang berlainan, seperti ungkapan, orang, kuda, intan, tumbuh-tumbuhan, maka bisa kita ambil pengertian bahwa, orang bukan kuda, kuda bukan intan, intan bukan tumbuh-tumbuhan.
4. Kulli Mutarodif, yaitu dua kata atau lebih yang memiliki sinonim (persamaan arti) seperti ungkapan wanita dan perempuan, lelaki dan pria, awan dan mendung, pena dan ballpoint.
5. Kulli Musytarok, yaitu satu kata yang memiliki banyak arti dan makna, seperti ungkapan matanya terlihat sangat tajam, dan pisau ini tajam, ucapan tajam pertama dan tajam yang kedua mempunyai arti yang berlainan, misalnya lagi, bulan, sekarang bulan desember, bulan itu tampak begitu indah, bulan pertama dan bulan kedua mempunyai arti berlainan. Inilah yang disebut kata global satu yang banyak arti.

Kata-kata yang tersusun menjadi sebuah kalimat disebut murokkab, kalimat ini ada dua macam pembagian, yaitu kalimat tholab (permintaan) dan kalimat khobar (pemberitaan). Kalimat permintaan ini dibagi lagi menjadi tiga bagian, yaitu:

1. Amar atau perintah, yaitu ucapan yang memiliki arti perintah, perintah yaitu ungkapan dari atasan kepada bawahan untuk melakukan pekerjaan, seperti perintah guru kepada murid, kyai kepada santri, dosen kepada mahasiswa. Duduklah! Kata pak dosen, maka ini disebut amar atau perintah.
2. Doa, atau permohonan. Ialah ucapan yang bersifat memohon yang diucapkan oleh bawahan kepada atasan, semisal permohonan hamba kepada Allah swt. Seperti ucapan, ampunilah hambaMu ini ya Allah.
3. Iltimas atau harapan, ialah ucapan yang memiliki arti permintaan dari orang yang setingkat kepada orang lain yang setingkat pula dengan peminta, misalnya perintah dari mahasiswa satu kepada mahasiswa yang lain, tolong ambilkan bukuku, Bro!, tolong jangan kau ganggu kekasihku!!. Ini disebut iltimas.

PEMBAHASAN HADIST



Hadist atau Al-Hadist menurut bahasa Al-Jadid yang artinya sesuatu yang baru lawan dari Al-Qadim (lama) artinya yang berarti menunjukan kepada waktu yang dekat atau waktu singkat. Hadist juga sering disebut dengan Al-Khabar, yang berarti berita, yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain, sama maknanya dengan hadist. [5]
Hadist dengan pengertian khabar sebagaimana tersebut diatas dapat dilihat pada beberapa ayat Al-qur’an seperti Qs.At-thur (52):34, Qs.Al-kahfi (18):6, dan Qs.Ad-dhuha (93):11.
Sedangkan menurut istlah (terminologi), para ahli memberikan definisi (ta’rif) yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang disiplin ilmunya. Seperti pengertian hadist menurut ahli ushul akan bebeda dengan pengertian yang diberikan oleh ahli hadist. menurut ahli hadist, pengertian hadist ialah :
“segala perkataan nabi, perbuatan dan ihwalnya.”
Yang dimaksud dengan hal ihwal ialah segala yang diriwayatkan dari Nabi SAW yang berkaitan dengan himmah, karakteristik sejarah kelahiran dan kebiasaan-kebiasaannya.
Ada juga yang memberikan pengertian lain:” sesuatu yang disandarkan kepada nabi saw. Baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifat beliau’’. Segabian muhaddisin berpendapat bahwa peengertian hadist diatas merupakan pengertian yang sempit dan menurut mereka hadist mempunyai cakupan pengertian yang lebih luas, tidak terbatas pada apa yang disandarkan kepada nabi saw (hadist  marfu) saja, melainkan termasuk juga yang disandarkan kepada para sahabat (hadist mauquf) dan tabi’in (hadist maqtu’).
Para pakar islam membagi dua kehidupan Nabi Muhammad saw, atas dua bagian yaitu: pertama, kehidupan beliau sebelum menerima wahyu, mulai dari bayi, kanak-kanak, kemudian dewasa (baligh) sampai batas usia 40 tahun. Kedua, kehidupan Nabi Muhammad saw mulai dari menerima wahyupertam digoa hiro dalam usia kematangan sampai beliau wafat pada usia 63 tahun. Namun demikian, perkataan, perbuatan dan sikap beliau sepanjang hari sejak kecil hingga dewasa terpuji, sehingga kalangan sahabat dan kerabat beliau diberi gelar sebagai Al-amin (dapat dipercaya) kehadirannya kedunia ini bagaikan rahmatan lil alamin.
Nabi Muhammad sendiri semasa hidupnya memang melarang para sahabat beliau mencatat perilaku beliau kecuali hal-hal yang beliau katakan sebagai wahyu, hal ini untuk mencegah kerancuan antara hadist dengan Al-qur’an, namun kemudian para ahhli sejarah kembali menghimpunnya, baik dikalangan sunni maupun syiah.
Menurut Ahli Hadist, pengertan Hadist adalah segala perkataan nabi muhammad saw, perbuatan dan ihwalnya,. Adapun yang dimaksud dengan ihwal adalah segala yang diriwayatkan oleh Nabi Muhammad saw yang berkaitan dengan himmah, kerakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaannya. [6]
Sebagai muhaddisin berpendapat bahwa pengertian haist diatas merupakan pengertian yang sempit, menurut mereka, hadist hadist mempunyai cakupan pengertian yang sangat luas, tidak terbatas pada apa yang disandarkan kepada Nabi saw (hadist marfu’) saja, melainkan termasuk juga yang disandarkan kepada para sahabat (hadist maukuf), dan tabi’in (hadist maqti’), sebagai mana yang disebut oleh Al-tarmizi;
‘’bahwasanya hadist itu bukan hanya untuk sesuatu yang marfu,yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw, melainkan bisa juga untuk sesuatu yang maukuf yang disandarkan kepada sahabat, dan yang maqtu’ yang disandarkan kepada tabi’in”
Menurut para ulama ushul fiqh, pengertian hadist menurut istilah ialah segala perbuatan, perkataan, taqrir Nabi muhammad saw yang berkaitan dengan hukum syara’ dan ketetapannya.
Yang dimaksud dengan taqrir disini ialah membenarkannya Nabi muhammad saw terhadap perbuata seorang sahabat yang dilakukan dihadapan beliau, atau yang diberitahukan kepada beliau tetapi beliau sendiri tidak menegur atau menyalahkannya.
Hadist juga disebut Sunnah, bahkan menurut jumhur ulama, sunnah merupakan Muradif (sinonim) dari hadist. Sunnah menurut bahasa mempunyai beberapa arti, seperti  jalan yang terpuji, jalan atau cara yang dibiasakan, kebalikan dari bid’ah serta apa yang diperbuat oleh sahabat, baik ada dasar dari dalam al-Quran, hadist, atau tidak.
Sunnah menurut istilah, sebagaimana yang dirumuskan oleh ulama ahli hadist  ialah segala yang dipindahkan dari Nabi Muhammad Saw, baik berupa perbuatan, perkataan, maupun taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup, dan baik yang demikian itu terjadi sebelum masa kenabian atau sesudahnya. Sunnah dalam pengertian inilah, menurut jumhur ulama hadist yang merupakan muradif dari hadist.
Menurut rumusan ulama ushul fiqh, sunnah menurut istilah ialah segala yang dipindahkan dari Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan, atau taqrir, yang mempunyai kaitan hukum.

6.         BENTUK-BENTUK HADIST
6.1 .       Hadist Qudsiy
Hadist qudsiy ialah hadist yang disampaikan oleh rasullullah saw kepada para sahabat dalam bentuk wahyu,  akan tetapi  wahyu tersebut bukanlah bagian dari ayat Al-Qur’an.
Ciri-ciri hadist qudsiy:
a.       Qala ( yaqalu) Allahu
b.      Fima yarwihi ‘ ailillahi Tabaraka wa Ta’ala dan
c.       Lafadh – lafadh lain yang semakna dengan appa yang tersebut di atas, setelah selesai penyebutan rawi yang menjadi sumber (pertama)- Nya, yakni sahabat.
 “Dari Abi Dzar, dari Nabi saw, Allah swt berfirman :”wahai hamba-hamba-Ku, sungguh Aku mengharamkan kedzaliman pada diri-Ku, (lebih kerena itu) Aku menjadikannya diantara kamu sekalian hal-hal yang diharamkan, maka dari itu janganlah kalian berbuat dzalim” (HR. Muslim).
6.2      Hadist Qauli
Hadist qauli adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan atau pun ucapan yang memuat berbagai maksud syara’, peristiwa, dan keadaan yang berkaitan dengan aqidah, syariah, akhlak, atau lainnya.
6.3      Hadist Fi’li
Yang dimaksud dengan fi’li ialah segala yang disandarkan kepada Nabi saw berupa perbuatannya yang sampai kepada kita. Seperti hadist tentang shalat atau haji.
6.4      Hadist Taqriri
Hadist taqriri adalah segala yang berupa ketetapan Nabi saw terhadap apa yang datang dari sahabatnya. Nabi saw membiarkan suatu perbuatan yang dilakukan oleh para sahabat, setelah memenuhi beberapa syarat baik megenai pelakunya maupun perbuatannya.
6.5      Hadist Hammi
Hadist hammi adalah hadist yang berupa keinginan Nabi saw yang belum terealisasikan, seperti halnya keinginan untuk berpuasa 9 Asyura, didalam riwayat Ibnu Abbas, disebutkan;
“Ketika Nabi Saw berpuasa pada hari asyura dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa, mereka berkata ,: Ya Rasullullah hari ini adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani, Nabi  Bersabda, “tahun yang akan datang insya’allah aku akan berpuasa pada hari yang kesembilan”. (HR. Muslim dan Abu Daud).
Nabi Muhammad Saw belum sempat merealisasikan keinginannya, kerena beliau wafat sebelum bulan Asyura. menurut imam Syafi’i dan para pengikutnya, menjalankan hadst ini disunnahkan sebagaimana sunah-sunah lainnya.

6.6        Hadist Ahwali
Yang dimaksud hadist ahwali adalah hadist yang berupa hal ihwal Nabi Saw yang menyangkut keadaan fisik, sifat-sifat dan kepribadiannya. tentang keadaan fisik Nabi Muhammad Saw dalam beberapa hadist disebutkan bahwa tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah. sebagaimana yang dikatakan oleh Al-bara dalam sebuah hadist riwayat bukhari sebagai berikut : “Rasullullah saw adalah manusia yang sebaik-baik rupa dan tubuh, keadaan fisiknya tidak terlalu tinggi dan pendek.” (HR. Bukhari).

7.         Unsur - unsur Hadist
7.1       Sanad
Sanad menurut bahasa adalah sesuatu yang dijadikan sandaran. sedangkan menurut istilah terdapat perbedaan rumusan pengertian. Al-badru Bin Jama’ah dan Al-thiby menyatakan bahwa sanad adalah berita tentang jalan matan. dan ada juga yang menyatakan silsilah para perawi yang memikulkan hadist dari sumbernya yang pertama.
7.2      Matan
Matan menurut bahasa mairtafa’amin al-ardhi (tanah yang ditinggalkan), sedangkan menurut istilah adalah suatu kalimat tempat berakhirnya sanad. Ada juga yang menyebutkan bahwa matan adalah lafadz-lafadz yang didalamnya mengandung makna-makna tertentu. Dari semua pengertian tersebut menunjukan bahwa yang dimaksud dengan matan adalah materi atau lafadz hadist itu sediri.
7.3       Rawi
Rawi berarti orang yang meriwayatkan atau memberikan hadist.

8.    Fungsi Hadist Terhadap Al-Quran        
Dalam kitab suci al-Quran terdapat ayat-ayat yang tidak jelas maksudnya. ayat-ayat yang sepert ini memerlukan penjelasan. Penjelasan diberikan oleh Rasullullah saw, melalui hadist /sunnah-sunnahnya. Oleh kerena itu fungsi hadist terhadap al-Quran ialah lil bayan atau untuk memeberikan penjelasan.
meurut pendapat sy-syafi’i, ada lima macam bayan atau penjelasan yang diberikan oleh hadist kepada al-Quran, yaitu:
a.       Bayan tafshil : penjelasan untuk menjelaskan ayat-ayat mujmal atau ayat-ayat yang sangat ringkas petunjuknya.
b.      Bayan takhshish : penjelasan untuk menentukan suatu dari ayat yang sangat umu sifatnya.
c.       Bayan ta’yin : penjelasan untuk menentukan mana yang sesungguhnya dimaksud dari dua atau tiga erkara yang mungkin dimaksudkan.
d.      Bayan tasyri’ : penjelasan yang bersifat menetapkan suatu hukum yang tidak terdapat dalam al-Quran.
e.      Bayan nasakh : penjelasan untuk menentukan mana yang mengganti dan yang mana yang diganti dari ayat-ayat yang terlihat seperti berlawanan.


[1] Faridl Miftah,  – Syihabuddin Agus, 1989, Al-Quran Sumber Hukum Islam Yang Pertama, Bandung : Pustaka. Hal. 4

[2] Faridl Miftah,  – Syihabuddin Agus, 1989, Al-Quran Sumber Hukum Islam Yang Pertama, Bandung : Pustaka  hal. 1-2.