Sejak kelahiran adik bungsu, aku begitu tak menyukai ibu. Karena
saat itu aku selalu dimarahi ibu karena lalai mengasuh si adik. Terlebih karena
fisik adik yang lemah membuat dia sering terjatuh jika sedang diasuh olehku.
Dan hampir tiap hari aku dimarahi ibu. Meskipun dulu aku tak membenci ibu, tapi
rasanya kekesalan mulai menumpuk didada jika mendengar omelannya. Disaat aku
terpojok seperti itu, ayah yang selalu membelaku didepan ibu.
Seiring
berjalannya waktu kekesalan pada ibu hilang tak berbekas sampai aku menginjak
bangku perguruan tinggi. Saat itu pula unek- unek dalam hati tak lagi ditujukan
untuk ibu, tapi untuk ayah. Sungguh, seiring berjalannya waktu aku mulai tak
memahami jalan pikiran ayah. Ternyata ayah begitu pilih kasih. Tidak, dia tak
menganakemaskan aku atau adik bungsuku yang keduanya berjenis kelamin perempuan. Tapi menurutku, ayah sangat menganak emaskan
kakak sulungku yang berjenis kelamin, jenis kelamin yang sama dengannya.
Aku
tentu saja sangat muak melihat ketimpangan gender seperti ini didalam rumahku.
Serasa kaum lelaki adalah raja yang mesti dimuliakan kapanpun didalam kondisi
apapun. Aku benar- benar muak saat ide dan suaraku begitu tak didengar ayah.
Entahlah, ayah selalu berhasil dipikat bujuk rayu pendapat kakak. Namun yang
lebih anehnya lagi, ayah doyan sekali meminta pendapatku yang tentu saja ujung-
ujungnya pendapatku kemudian dimuntahkan buat- bulat dan diakhir dengan penolakan
keras.
Tak
hanya itu, ayah juga doyan menentang semua keinginanku. Dari mulai belajar
mengendarai kendaraan, mencari penghasilan sendiri ditengah rutinitas sekolah,
sampai memilih perguruan tinggi. Namun lihatlah! Ujung- ujungnya ayah juga yang
menikmati semua jerih payah semua keinginan yang mulai ku tekuni dibelakang
ayah. Sebenarnya aku bisa memaklumi sikap ayah, andai saja dia tak selalu
membanding- bandingkan aku dengan kakak. Sungguh aku makin muak saat dia mulai
membandingkan kinerjaku yang lebih jongkok dibanding kakak. Anehnya lagi, ayah
sepertinya doyan menikmati jasaku ketimbang menggunakan jasa kakak yang selalu
digembor- gemborkannya lebih oke.
Namun
disamping sikap ayah yang selalu terlihat negative dimataku akhir- akhir ini,
sebenarnya rasa benci tak pernah sedikitpun mampir diingatanku. Hanya saja, aku
sering kesal padanya. Apalagi saat mencoba memahami pemikirannya yang sering
tidak sejalan denganku. Hebatnya, seiring berjalannya waktu aku mulai dicap
ayah sebagai anak berhati keras yang konotasinya sangat negative dimatanya.
Kenyataan
memang tak pernah bertahan lama dimuka bumi ini, selalu jungkir balik. Dimasa
kecil aku sering dibela ayah didepan ibu, kini aku sering dibela ibu didepan
ayah. Dan berkali- kali juga dilain kesempatan yang berbeda, ibu makin rajin
memberiku pengertian akan sikap ayah yang selalu ku artikan sebagai ketimpangan
gender.
Lagi-
lagi kenyataan memang tak pernah bertahan lama dimuka bumi, sikap ayah yang
begitu tak kupahami perlahan mulai menampar- nampar dadaku. Pasalnya hari- hari
mulai membersihkan kegelapan mataku. Disamping ketimpangan gender yang sampai
saat ini masih kerap ku rasakan, ayah ternyata juga mempunyai sifat- sifat
terpuji yang mesti ku tiru. Akupun sampai sering malu sendiri.
Ayah
adalah orang berjiwa sosial tinggi dimataku. Dia tak pernah tanggung- tanggung
untuk mengorbankan kepentingannya demi kepentingan bersama. Meskipun keungan
keluarga sedang seret- seretnya, sering ayah merelakan isi sakunya yang tak
seberapa itu jika ada orang lain yang sedang membutuhkan. Pernah ayah merelakan
uang seratus ribu satu- satunya yang dia miliki untuk membayar uang spp anaknya
paman.
Pernah
saat adik bungsu ayah hendak membangun kandang ayam petelur disamping rumahku
dan rumah adik ayah yang lain. Disaat paman no-6-ku mati- matian menentang
rencana sang paman bungsu, ayah malah membolehkan rencana paman itu yang jelas-
jelas berdampak sangat merugikan bagi kami. Tak terbayangkan bau busuk kotoran
ayam menyusupi hidung disetiap waktu, sungguh sangat menyiksa.
Tahu
ayah bilang apa saat paman no-6 dan paman bungsu sedang bersitegang?
“Silakan
kamu mau buat kandang ayam disitu mah. Itu hak kamu, tanah milik kamu. Nanti ke
rumah juga gak bakalan kecium kok baunya? Kan nanti anginnya ke barat.”
Ckckck.
Sungguh, saat itu mataku hampir loncat dari tempatnya begitu mendengar ayah
berkomentar yang sangat berlainan dengan isi hatiku yang sependapat dengan
paman no-6. Aku yang hendak misah- misuh lagi karena tidak mengerti jalan
pikiran ayah, segera diamankan ibu ke dapur.
“Kenapa
Yi, mau marah- marah lagi sama ayah? Karena dia setuju usul paman bungsu?”
Aku
cemberut tak menjawab. Melihatku, ibu tersenyum geli.
“Ayah
lahir dikeluarga besar, Yi(nama panggilanku). Adiknya saja ada enam dan
kakaknya satu. Hidup dalam lingkungan keluarga besar memang susah, rentan
sekali pertikaian dan perpecahan, Yi. Kamu sama adik kamu satu- satunya saja
sering berantem siang malam. Apalagi ayah dengan ketujuh saudaranya?”
Aku
terdiam dan mama tersenyum.
“
Sebagai kakak lelaki tertua (ayah anak kedua), ayah selalu mencoba bersikap
bijak, Yi. Dia gak mau keluarga besarnya terpecah belah karena keegoisan.
Makanya ayah suka ngalah, meskipun dia harus mengorbankan kepentingan
pribadinya. Ini dilakukan ayah agar keluarga besarnya tak terpecah belah.”
Serasa
ada petir disiang bolong yang menyambar jantungku lagi. Dibalik ketidakadilan
ayah dalam menyikapi ketimpangan gender antara aku dan kakak, ternyata
tersimpan keadilan yang sangat mulia untuk mencegah perpecahan keluarga
besarnya.
“Masih
marah- marah sama ayah?”
Aku
tak bisa berkata- kata.
“Jangan
takut! Meskipun ayah menyutujui usul paman bungsu yang nantinya akan merugikan
kita, ayah selalu menyiapkan solusi yang tepat kok,” ucap ibu sebelum dia
menghidangkan sepiring pisan goring ditengah perdebatan paman no-6 dan paman
bungsu.
Aku
duduk sendirian didapur, namun ketika menajamkan telinga, ku dapati
perbincangan ayah dan adik- adiknya berakhir pada kesepakatan luar biasa bijak
berkat usul ayah. Paman bungsu akhirnya akan membuat kandang ayam petelur
ekstra besarnya didekat kebun miliknya, jauh dari pemukiman kami, jauh pula
dari pemukiman warga. alhamdulillah
*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komentar mendukung darimu sangat aku tunggu!!