Sabtu, 27 Februari 2016

AKU CINTA AYAH


Sejak kelahiran adik bungsu, aku begitu tak menyukai ibu. Karena saat itu aku selalu dimarahi ibu karena lalai mengasuh si adik. Terlebih karena fisik adik yang lemah membuat dia sering terjatuh jika sedang diasuh olehku. Dan hampir tiap hari aku dimarahi ibu. Meskipun dulu aku tak membenci ibu, tapi rasanya kekesalan mulai menumpuk didada jika mendengar omelannya. Disaat aku terpojok seperti itu, ayah yang selalu membelaku didepan ibu.
Seiring berjalannya waktu kekesalan pada ibu hilang tak berbekas sampai aku menginjak bangku perguruan tinggi. Saat itu pula unek- unek dalam hati tak lagi ditujukan untuk ibu, tapi untuk ayah. Sungguh, seiring berjalannya waktu aku mulai tak memahami jalan pikiran ayah. Ternyata ayah begitu pilih kasih. Tidak, dia tak menganakemaskan aku atau adik bungsuku yang keduanya berjenis kelamin perempuan.  Tapi menurutku, ayah sangat menganak emaskan kakak sulungku yang berjenis kelamin, jenis kelamin yang sama dengannya.
Aku tentu saja sangat muak melihat ketimpangan gender seperti ini didalam rumahku. Serasa kaum lelaki adalah raja yang mesti dimuliakan kapanpun didalam kondisi apapun. Aku benar- benar muak saat ide dan suaraku begitu tak didengar ayah. Entahlah, ayah selalu berhasil dipikat bujuk rayu pendapat kakak. Namun yang lebih anehnya lagi, ayah doyan sekali meminta pendapatku yang tentu saja ujung- ujungnya pendapatku kemudian dimuntahkan buat- bulat dan diakhir dengan penolakan keras.
Tak hanya itu, ayah juga doyan menentang semua keinginanku. Dari mulai belajar mengendarai kendaraan, mencari penghasilan sendiri ditengah rutinitas sekolah, sampai memilih perguruan tinggi. Namun lihatlah! Ujung- ujungnya ayah juga yang menikmati semua jerih payah semua keinginan yang mulai ku tekuni dibelakang ayah. Sebenarnya aku bisa memaklumi sikap ayah, andai saja dia tak selalu membanding- bandingkan aku dengan kakak. Sungguh aku makin muak saat dia mulai membandingkan kinerjaku yang lebih jongkok dibanding kakak. Anehnya lagi, ayah sepertinya doyan menikmati jasaku ketimbang menggunakan jasa kakak yang selalu digembor- gemborkannya lebih oke.
Namun disamping sikap ayah yang selalu terlihat negative dimataku akhir- akhir ini, sebenarnya rasa benci tak pernah sedikitpun mampir diingatanku. Hanya saja, aku sering kesal padanya. Apalagi saat mencoba memahami pemikirannya yang sering tidak sejalan denganku. Hebatnya, seiring berjalannya waktu aku mulai dicap ayah sebagai anak berhati keras yang konotasinya sangat negative dimatanya.
Kenyataan memang tak pernah bertahan lama dimuka bumi ini, selalu jungkir balik. Dimasa kecil aku sering dibela ayah didepan ibu, kini aku sering dibela ibu didepan ayah. Dan berkali- kali juga dilain kesempatan yang berbeda, ibu makin rajin memberiku pengertian akan sikap ayah yang selalu ku artikan sebagai ketimpangan gender.
Lagi- lagi kenyataan memang tak pernah bertahan lama dimuka bumi, sikap ayah yang begitu tak kupahami perlahan mulai menampar- nampar dadaku. Pasalnya hari- hari mulai membersihkan kegelapan mataku. Disamping ketimpangan gender yang sampai saat ini masih kerap ku rasakan, ayah ternyata juga mempunyai sifat- sifat terpuji yang mesti ku tiru. Akupun sampai sering malu sendiri.
Ayah adalah orang berjiwa sosial tinggi dimataku. Dia tak pernah tanggung- tanggung untuk mengorbankan kepentingannya demi kepentingan bersama. Meskipun keungan keluarga sedang seret- seretnya, sering ayah merelakan isi sakunya yang tak seberapa itu jika ada orang lain yang sedang membutuhkan. Pernah ayah merelakan uang seratus ribu satu- satunya yang dia miliki untuk membayar uang spp anaknya paman.
Pernah saat adik bungsu ayah hendak membangun kandang ayam petelur disamping rumahku dan rumah adik ayah yang lain. Disaat paman no-6-ku mati- matian menentang rencana sang paman bungsu, ayah malah membolehkan rencana paman itu yang jelas- jelas berdampak sangat merugikan bagi kami. Tak terbayangkan bau busuk kotoran ayam menyusupi hidung disetiap waktu, sungguh sangat menyiksa.
Tahu ayah bilang apa saat paman no-6 dan paman bungsu sedang bersitegang?
“Silakan kamu mau buat kandang ayam disitu mah. Itu hak kamu, tanah milik kamu. Nanti ke rumah juga gak bakalan kecium kok baunya? Kan nanti anginnya ke barat.”
Ckckck. Sungguh, saat itu mataku hampir loncat dari tempatnya begitu mendengar ayah berkomentar yang sangat berlainan dengan isi hatiku yang sependapat dengan paman no-6. Aku yang hendak misah- misuh lagi karena tidak mengerti jalan pikiran ayah, segera diamankan ibu ke dapur.
“Kenapa Yi, mau marah- marah lagi sama ayah? Karena dia setuju usul paman bungsu?”
Aku cemberut tak menjawab. Melihatku, ibu tersenyum geli.
“Ayah lahir dikeluarga besar, Yi(nama panggilanku). Adiknya saja ada enam dan kakaknya satu. Hidup dalam lingkungan keluarga besar memang susah, rentan sekali pertikaian dan perpecahan, Yi. Kamu sama adik kamu satu- satunya saja sering berantem siang malam. Apalagi ayah dengan ketujuh saudaranya?”
Aku terdiam dan mama tersenyum.
“ Sebagai kakak lelaki tertua (ayah anak kedua), ayah selalu mencoba bersikap bijak, Yi. Dia gak mau keluarga besarnya terpecah belah karena keegoisan. Makanya ayah suka ngalah, meskipun dia harus mengorbankan kepentingan pribadinya. Ini dilakukan ayah agar keluarga besarnya tak terpecah belah.”
Serasa ada petir disiang bolong yang menyambar jantungku lagi. Dibalik ketidakadilan ayah dalam menyikapi ketimpangan gender antara aku dan kakak, ternyata tersimpan keadilan yang sangat mulia untuk mencegah perpecahan keluarga besarnya.
“Masih marah- marah sama ayah?”
Aku tak bisa berkata- kata.
“Jangan takut! Meskipun ayah menyutujui usul paman bungsu yang nantinya akan merugikan kita, ayah selalu menyiapkan solusi yang tepat kok,” ucap ibu sebelum dia menghidangkan sepiring pisan goring ditengah perdebatan paman no-6 dan paman bungsu.
Aku duduk sendirian didapur, namun ketika menajamkan telinga, ku dapati perbincangan ayah dan adik- adiknya berakhir pada kesepakatan luar biasa bijak berkat usul ayah. Paman bungsu akhirnya akan membuat kandang ayam petelur ekstra besarnya didekat kebun miliknya, jauh dari pemukiman kami, jauh pula dari pemukiman warga. alhamdulillah
*







Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar mendukung darimu sangat aku tunggu!!