Selasa, 16 Februari 2016

Karena Mutty Etty Telah Mengajarku


Waktu yang tak pernah berhenti bergulir menyisakan berbagai kejadian yang akan menjadi sebuah pelajaran berharga bila tahu cara mengambil hikmahnya. Sungguh, aku membuktikannya saat bersekolah di SMAN 3 Tasikmalaya.
Orang bilang hidup berawal dari mimpi. Dan ternyata yang aku rasa, memang itulah kenyataannya. Mimpi menjadi penyemangat agar langkah punya arah. Satu lagi fakta bahwa ucapan adalah doa telah ku buktikan disana.
Sejak kelas VIII SMP, aku sudah terpesona dengan kharisma sekolah yang terletak di Jalan Letkol Basyir Surya no 89 Tasikmalaya ini. Sejak saat itu pula aku punya mimpi untuk melanjutkan sekolah disana. Setiap melewati bangunannya ditengah pesawahan hijau sepulang sekolah, aku selalu menggembar- gemborkan pada semua temanku bahwa itulah sekolah masa depanku. Tak hanya sepulang sekolah saja, dimanapun asal ada kesempatan aku selalu mengumbar mimpiku pada semua orang.
Namun saat itu aku hanya bermimpi saja, tak terlalu terobsesi untuk mewujudkannya. Karena aku sadar diri sebagai murid dari smp biasa terasa sangat kecil peluangnya untuk menempati salah satu kursi dari 1150 kursi disalah satu SMA favorit di Tasikmalaya itu. Meski hanya mimpi, aku tak membuang peluang yang datang. Selepas ujian nasional SMP, aku mengikuti jalur PMDK kesana. Dan ternyata…. Aku diterima. Senang sekali hatiku.
Satu hal lagi yang membuatku bersyukur bisa bersekolah disini, aku diberi kesempatam berkenalan dengan bahasa Jerman, bahasa asing yang benar- benar asing digendang telingaku. Aku yang selalu bersemangat mempelajari hal baru, menjadi tak sabar hati ingin segera mempelajarinya.
Aku ingat kalau hari itu hari rabu, hari saat pertama kali aku berkenalan dengan bahasa Jerman. Dan kata,”Guten Morgen!” menjadi kalimat pertama bahasa Jerman yang ku pelajari. Tentu saja yang membuat mata pelajaran ini semakin menarik untuk dipelajari, tak lepas dari gaya mengajar guru mata pelajarannya yang asyik banget. Mungkin karena Mutty Etty Sugyarti sudah mempunyai pengalaman mengajar sejak juli 1985 membuatnya bisa memberikan ilmu yang banyak tapi dengan penjelasan yang singkat dan langsung dimengerti oleh semua muridnya. Hebat.
Sejak pertama kali melihat Mutty Etty memasuki kelas, aku sudah tahu kalau dia itu guru yang berkualitas sekaligus menginspirasi. Terlihat dari gaya berpakaiannya yang simpel dan bersahaja, langkah- langkah kakinya yang lebar saat berjalan seakan waktunya tak ingin terbuang sia- sia walau sedetikpun, gaya belajarnya yang langsung kena ketitik sasaran, santai, terkuasai, mengalir, aksen bicaranya yang Deutschland banget, ditambah pengalamannya bolak- balik Jerman tiap tahun dengan segudang urusan menyangkut pendidikan membuatnya bisa membuka cakrawala kami seluas- luasnya tentang negeri Jerman sana.
yang berdiri paling kanan
Kelebihannya yang lain, mutty mampu meyakinkan kami, para muridnya, bahwa belajar bahasa Jerman itu sangat mudah, semudah kami berbahasa Indonesia. Terbukti, setelah belajar dengannya kami selalu merasa menjadi bule Jerman dadakan, saking kami mudah menguasai semua materi yang diberikan oleh mutty. Sayangnya, hal itu hanya bertahan selama empat minggu saja. Menginjak minggu kelima kami mempelajari bahasa Jerman, Deutsch, kami mulai menemui kendala kalau bahasa Jerman itu susah banget.
Kepribadian mutty yang tegas, tepat waktu dan disiplin semakin menyulitkan kami. Hehe. Pasalnya dia tak segan- segan menolak tugas kami jika kami terlambat mengerjakannya. Tujuan mutty bersikap demikian tentu saja dengan harapan agar muridnya mampu berdisiplin dalam segala hal dan bisa menghargai waktu, dasar kaminya saja yang tak mau mengakui kesalahan membuat kami menjulukinya guru galak.
Bahkan kakak kelas sebelum kami pernah menyebutnya,”TIGA DIVA”. Berawal saat mutty dan dua guru lain yang mempunyai julukan yang sama secara tak sengaja mendapat jadwal guru piket dihari yang sama pula, hari rabu. Setiap hari rabu itu, mereka bertiga menjelma bak algojo yang mengeksekusi murid- murid yang datang terlambat kesekolah. Setelah bel tanda memasuki pelajaran menjerit diseluruh penjuru sekolah, tak ada ampun sedikitpun untuk murid yang datang setelahnya. Mereka yang terlambat harus menerima hukuman dulu, baru bisa masuk dijam kedua pelajaran. Agaknya sebutan,”TIGA DIVA”-pun tercetus dari sebuah bibir yang pernah kena hukuman dari mutty karena datang terlambat kesekolah.
Diluar julukannya sebagai guru galak, mutty sebenarnya pribadi yang bersahabat dan menyenangkan kok. Sayangnya dikelas X tahun 2007, aku hanya belajar bahasa Jerman selama satu semester saja, karena semester selanjutnya digantikan oleh bahasa Arab. Aku yang memilih jurusan bahasa dikelas XI akhirnya membuat aku kembali bertemu dengan bahasa Jerman dan mutty Etty. Baru disinilah aku mengetahui lebih lanjut tentang perjalanan sekolahku tercinta ini bisa terkenal sampai Jerman sana.
Berkat kerja keras mutty juga, tahun 2004, SMAN 3 Tasikmalaya atau yang dikenal muridnya dengan sebutan SMANTITAS atau TRITAS dijadikan Pilot Projekt untuk pengembangan bahasa Jerman oleh kedutaan Jerman. Saat itu di Indonesia hanya ada tiga sekolah yang terpilih yakni SMAN 3 Tasikmalaya, SMAN 1 Yogya, dan SMAN 3 Mataram.
Merangkak semakin maju, akhirnya tahun 2008, SMAN 3 Tasikmalaya termasuk dari 1000 sekolah didunia yang terpilih menjadi sekolah mitra dengan kedutaan Jerman. Di Indonesia hanya ada 38 sekolah yang terpilih, 5 sekolah diantaranya berasal dari Daerah Jawa Barat yakni SMAN 3 Tasikmalaya, SMAN 7 Bandung, SMA PGII Bandung, SMA Madania Bogor dan SMA Dwi Warna.
Setelah sekolahku terpilih menjadi sekolah mitra, tiap tahun sekolah kami selalu mengirimkan siswa untuk mengikuti Jugendkurs selama 3 minggu di Jerman. Sudah ada 18 siswa yang sekolah kami kirimkan ke Jerman, 2 siswa ke Thailand, dan 1 siswa ke Jepang yang semuanya difasilitasi Pemerintahan Jerman. Namun sebenarnya sejak 2006, sekolah kami sudah menerbangkan seorang siswa ke Jerman sana yakni Kak Inayah, kakak kelasku.
Selain itu, sekolah kami juga selalu mengikuti workshop- workshop yang sejurus dengan pembelajaran bahasa Jerman disekolah. Di Bandung, Jakarta, bahkan di Bali-pun sekolah kami selalu mengikutinya. Ah, semakin bangga aku menjadi warga kelas bahasa.
Makanya saat mutty mengumumkan bahwa akan diadakan test penyeleksian Jugendkurs, aku sangat bersemangat dan semakin giat belajar. Dihari pelaksanaannya, meski membuat urat- urat dikepalaku kriwil- kriwil, namun aku akhirnya berhasil menyelesaikan semua soal yang diberikan mutty bisa ku selesaikan sampai tuntas.
Karena test itu dilaksanakan sebelum liburan semester ganjil dikelas XI, pengumuman siswa yang lolos test akan mutty umumkan saat liburan nanti lewat sms dan telpon. Keadaanku yang tinggal di pesantren dan tidak membawa ponsel membuatku terlambat mengetahui pengumuman bahwa aku termasuk 21 orang yang lulus test.
Aku baru tahu bahwa aku termasuk satu dari dua puluh satu orang yang berpeluang mendapat kesempatan emas, dihari ketiga setelah teman- temanku mengikuti kursus kilat bersama mutty. Ketika aku masuk kursus kilat bahasa Jerman dihari keempat, aku merasa jadi peserta kursus paling tidak ketinggalan materi. Menyesal? Sangat menyesal.
Namun keadaan kembali membuatku bimbang. Salah satu ustadz dipesantren, tempat aku tinggal selama masa sma, meninggal dunia. Perhatianku makin terbagi- bagi dan kacau balau. Disatu sisi aku harus mengejar ketertinggalanku dikursus, namun disatu sisi lagi aku ingin menjadi santri yang berbakti kepada ustadznya.
Dengan berbagai pertimbangan, mengikuti kursuspun aku sudah ketinggalan, aku memilih tetap diam dipesantren dan ikut dalam semua prosesi pemakaman. Tepatnya hari jumat, aku memberanikan diri menelpon mutty dan memberitahukan bahwa aku mengundurkan diri dari calon peserta Jugendkurs.
Dan itulah keputusan terbodohku yang masih ku sesali sampai kini. Saat kami kembali bersekolah karena masa liburan sudah berakhir, saat menyadari ketertinggalanku dalam mata pelajaran bahasa jerman semakin terpuruk, dan saat itu pula aku mulai membangun benteng mimpi sebagai bentuk penyesalanku karena telah membuat sebuah keputusan yang salah.
Aku mulai hidup bagaikan kapal yang limbung, yang terombang- ambing gelombang lautan dan kehilangan mata angin untuk menentukan arah. Setiap hari aku kerjaannya membawa novel ke kelas. Dan disetiap ada kesempatan, meski guru sedang menjelaskan didepan kelas sekalipun, aku selalu menghabiskan semua waktuku untuk membaca.
Tak hanya itu, aku juga semakin sering datang terlambat ke sekolah. Dan benteng yang aku cipta dalam hati tanpa sadar membuatku perlahan- lahan menarik diri dari pergaulan, aku terasing dari teman- temanku sendiri. Saat itu aku tidak menyadari imbas dari penyesalanku waktu itu membuat hidupku kacau balau. Dasar ABG labil! Makiku dalam hati, tapi aku tetap tak bisa meloloskan diri dari kepungan.
Namaku yang sering bertengger didaftar piket murid yang kesiangan, akhirnya membuatku dipanggil mutty. Saat kelas XII, mutty memang menjadi wali kelasku. Setelah menerima berbagai nasihat dari mutty, awan- awan mendung yang menutupi hati dan pikiranku mulai tersingkap. Dari sanalah aku mulai menyadari kekhilafanku dan bertekad untuk mulai menyusun strategi mengejar ketertinggalan.
Dalam mata pelajaran bahasa Jerman, gaya belajar mutty yang beda dari guru yang lain sangat membantuku. Hampir ditiap pertemuan, setelah mutty selesai memberikan materi, mutty selalu membagi kami menjadi beberapa kelompok. Sebelumnya mutty selalu memilih murid yang sudah menguasai materi pelajaran untuk dijadikan ketua kelompok sekaligus pembimbing anggota kelompoknya yang belum paham akan materi yang diajarkan.
Beberapa waktu setelah tiap kelompok melakukan diskusi, mutty selalu melemparkan beberapa pertanyaan sebagai alat tolak ukur tingkat pemahaman muridnya. Bisa dijadikan ciri khasnya, murid yang mutty tanyai adalah murid yang dirasa mutty masih belum menguasai materi. Bersyukur, semakin kesini aku jarang ditanya mutty. Itu artinya… kemampuanku dalam menguasai bahasa Jerman semakin mantap dan aku siap menyongsong UN.
Meskipun tahun 2010 UN ada remidialnya, sama sekali aku tak berpikir untuk menjadi bagian dari siswa yang mengikutinya. Makanya aku belajar keras dan sungguh- sungguh untuk membuktikan bahwa aku juga mampu lulus dari salah satu sekolah favorit Tasikmalaya dengan nilai yang membanggakan. Ku lewati tanggal dua puluh sampai dua puluh empat maret dengan segenap kerja keras dalam belajar dan panjatan doa setulus hati pada Yang Maha Kuasa.
Alhamdulillah aku bisa tersenyum bangga mengetahui nilai UN bahasa Jermanku adalah 8,9. Terima kasih mutty, jasamu mengajari keawamanku tak pernah ku lupakan. Akupun semakin merasa ringan dalam melangkah menyongsong tanggal 5 mei 2010, hari perpisahan kelas dua belas di SMAN 3 Tasikmalaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komentar mendukung darimu sangat aku tunggu!!